Sejuah ini, kata Kristanto, data yang dimiliki oleh masing-masing keuskupan dan provinsial atau kongergasi masih berupa informasi dari korban langsung maupun orang lain yang mengetahui atau mendengar adanya pelecahan seksual.
“Dia tidak memberi penjelasan 56 itu. Dari mana jumlah 56 itu? Dia hanya menjumlah tapi dia tidak tahu (dari mana),” kata Kristanto saat dihubungi era.id, Kamis (12/12/2019).
Padahal, menurut Kristanto, kasus pelecehan seksual oleh oknum pimpinan gereja Katolik di Indonesia belum pernah dipetakan dan didata secara resmi. Sehingga data tersebut tidak bisa dibenarkan jika lingkupnya Indonesia.
“Itu kan baru ditangani atau didengarkan. Jadi kalau spesifikasi, ada yang didengarkan, ada yang ditangani, ada yang saya mendengar lalu saya kasihkan anda, lalu anda juga menceritakan atau mendengar saja. Kan belum ada validitasnya. Sayang toh,” kata Kristanto.
Salah data tersebut juga dibenarkan oleh Vikjen Keuskupan Pangkalpinang Nugroho Krisusanto, SS.CC. Menurutnya, data mengenai jumlah korban tersebut milik negara lain yang pernah diterbitkan oleh salah satu majalah luar negeri.
Ia menyayangkan ada yang menampilkan data yang bahkan gereja Katolik di Indonesia belum menyusunnya. “Ada di negara lain, Argentina atau Brazil ada 21 seminaris (jadi korban), tapi bukan di Indonesia. Di Indonesia sendiri belum. Hanya sayang buletin itu tidak menyebut korban itu di negara mana,” katanya saat dihubungi.
—–
Selengkapnya bisa dibaca di artikel Pelecehan Seksual di Gereja, Ada Tapi Belum Terdata | Era.id, 13 Desember 2019 pukul 11.43 WIB. Artikel penuh versi screenshot bisa diakses di SINI.
Leave a Reply