
Masalahnya adalah para pelaku kejahatan dan predator seksual dengan mudah bersembunyi di balik kemegahan yang patriarkis ini. Buanglah jubah mereka, maka mereka akan menjadi sampah.
Berikut nukilan esai Made Supriatma di newsletter-nya:
Selama puluhan tahun Gereja Katolik berusaha menghindar dari isu ini. Banyak uskup dan pimpinan tarekat-tarekat relijius mengetahui dan mendapat laporan tentang imam-imam yang melecehkan bahkan memperkosa anak-anak dan perempuan rentan didalam gereja. Namun, banyak dari mereka tidak mengambil tindakan. Mereka hanya memindahkan imam-imam bermasalah ini ke tempat lain dengan harapan dia tidak melakukan lagi. Namun, seringkali di tempat yang baru ini, kejadian berulang.
Banyak orang mungkin bertanya-tanya: Mengapa ini terjadi? Mengapa Gereja Katolik sangat tidak responsif terhadap kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi didalamnya?
Problem utama gereja adalah birokrasi. Ini adalah bentuk pengorganisasian yang paling awet, yang dimulai 2,000 tahun lampau, melewati banyak badai, darah dan air mata. Namun dia tetap tegak. Gereja Katolik punya organisasi paling rapi sedunia. Gereja ini dibagi kedalam unit-unit territorial – yang dipimpin oleh seorang Uskup. Ada 2,248 keuskupan di seluruh dunia. Ada 37 di Indonesia. Uskup Roma adalah pemegang wewenang tertinggi dalam gereja. Dialah Paus yang ‘primus inter pares’ dari para uskup ini.
Selengkapnya bisa dibaca di artikel Masalah Gereja Katolik dan Kekerasan Seksual, Mengapa Ini Terjadi Terus-menerus? | Supriatma’s Newsletter, 28 Juli 2020. Artikel penuh versi screenshot bisa diakses di SINI. Sumber ilustrasi: oindia.com.
Leave a Reply