Relasi Kuasa dalam Kekerasan Seksual di Ranah Agama

Sepanjang 2011—2019, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat sebanyak 46.698 kasus kekerasan seksual terjadi di ranah personal maupun publik. Beberapa di antaranya, terdiri dari 2.851 kasus pelecehan seksual dan tidak sedikit yang terjadi di lingkungan institusi keagamaan. Hal tersebut diungkapkan oleh Maria Ulfah Anshor, Komisioner Perempuan dalam diskusi yang bertajuk “Agama dalam Pusaran Kekerasan Seksual” pada Selasa (25-08). Dalam diskusi yang digelar oleh Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM tersebut, hadir pula Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan Suzie Handajani, Dosen Kajian Gender dan Seksualitas Departemen Antropologi UGM. Diskusi ini dimoderatori oleh Sarah Amany Wisista, mahasiswa Antropologi Budaya UGM 2017.

Franz Magnis-Suseno, yang akrab disapa Romo Magnis mengungkapkan bahwa kasus dengan pola yang serupa juga terjadi di Gereja Katolik. Romo Magnis mengungkapkan bahwa pihak Gereja Katolik Roma mulai menyadari adanya pelecehan di dalam gereja sejak 20 tahun silam. “Korbannya sering kali adalah perempuan, anak-anak, atau suster gereja, sedangkan pelakunya adalah para imam atau pastor,” imbuhnya. Ia menambahkan, ada hubungan hierarkis antara pastor dengan anak-anak dan perempuan yang merupakan jemaat gereja, begitu pula antara pastor dengan suster.

Melansir dari Tirto, kasus pelecehan seksual pernah terjadi di sebuah Gereja Katolik di Jakarta Barat dengan pelaku adalah seorang imam Katolik. Korban mengungkapkan bahwa pelecehan tersebut terjadi 27 tahun lalu saat ia berusia 11 tahun. Ibu korban sudah melaporkan pelecehan tersebut ke pihak Gereja. Namun, hingga saat ini, klerus yang melecehkannya tidak pernah ditindak. Dalam satu kasus, otoritas gereja berdalih bahwa pelaku tidak bisa dihukum karena sedang disiapkan untuk tugas tertentu.

Menurut Romo Magnis, relasi kuasa di gereja yang menempatkan posisi pastor lebih tinggi daripada jemaat atau suster menghambat penanganan kasus pelecehan seksual yang terjadi di gereja. Para korban tidak memiliki kuasa untuk melawan karena di dalam gereja mereka berada pada hierarki yang lebih rendah. Selain itu, mereka sering kali diminta tutup mulut mengenai kasus yang menimpanya tersebut atas dasar melindungi nama baik gereja. “Seharusnya bukan nama baik gereja yang harus dilindungi, melainkan korban yang dalam keadaan lemah,” katanya.

Selengkapnya bisa dibaca di artikel sumber Mengungkap Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual di Institusi Keagamaanbalairungpress.com 28 Agustus 2020

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*