Sosiolog Universitas Airlangga Bagong Suyanto mengungkapkan, kasus kekerasan seksual oleh pemuka agama sulit dibongkar karena posisi pelaku sebagai sosok yang disakralkan di tengah masyarakat. Banyak masyarakat kemudian menutup mata akan kemungkinan pelecehan seksual oleh pemuka agama karena. Hal ini membuat pelaku bebas bertindak sewenang-wenang dan menyalahgunakan kekuasaan demi kepuasan pribadi. “Orang tidak curiga karena kejadiannya melibatkan pemuka agama. Mereka berpikir tidak mungkin pemuka agama melakukan kekerasan seksual, dan itu membuat (pelaku) aman bertahun-tahun,” ujar Bagong kepada Kompas.com, Rabu (16/12/2021).
Selain faktor tersebut, kasus kekerasan seksual oleh pemuka agama sulit terungkap karena ada penutupan kasus yang rapi dan sistematis oleh lembaga agama. “Karena kasus itu dianggap aib, ada lembaga agama yang memilih untuk menutup-nutupi. Tapi saya kira tidak bisa begitu (…) mau tidak mau harus diproses,” tegas Bagong. Pernyataan Bagong sejalan dengan laporan khusus yang dibuat oleh The Jakarta Post bersama tirto.id tahun lalu. Di dalam laporan bertema #NamaBaikGereja itu, terungkap kejadian pelecehan seksual yang dilakukan seorang pastor terhadap anak-anak di bawah umur. Kejadian itu berlangsung sejak 10 hingga 30 tahun yang lalu.
Tiga korban memberanikan diri untuk melaporkan kejahatan seksual yang dilakukan sang pemuka agama ke otoritas gereja. Namun, kasus tersebut tidak pernah berujung. Pelaku tetap menjalankan rutinitasnya sebagai pemuka agama dan mungkin kejahatannya sebagai predator seksual.
Selengkapnya bisa dibaca di artikel sumber: Saat Lembaga Agama Tutupi Kasus Pelecehan Seksual, Sosiolog: Mau Tidak Mau Harus Diproses|Kompas.com, 20 Desember 2021
Sumber ilustrasi: theweek.com
Leave a Reply