
Paus Fransiskus menggelar kunjungan apostolik ke Asia Pasifik pada September lalu. Indonesia (3-6 September), Papua Nugini (6-9 September), Timor-Leste (9-11 September), dan Singapura (11-13 September).
Dalam rangkaian kunjungan itu, seperti dikutip dari Majalah Tempo Edisi 15 September 2024, tercatat hanya di Timor-Leste, tepatnya dalam tatap muka bersama para wartawan di pesawat, ia menyoroti kekerasan seksual yang melibatkan para pastor. Masalah ini merujuk pada skandal tokoh Gereja terkemuka di Timor-Leste, Uskup Carlos Ximenes Belo, yang terbukti melecehkan secara seksual anak laki-laki di bawah umur selama 20 tahun.
Vatikan telah menjatuhkan sanksi terhadap tokoh yang bersama Jose Ramos Horta pada tahun 1996 menerima Nobel Perdamaian itu. “Gereja mengutuk setiap jenis kekerasan, bukan hanya kekerasan seksual,” kata Paus Fransiskus. Pesan yang sama disampaikannya dalam pertemuan dengan Horta di Timor-Leste pada 9 September 2024.
Sebelumnya, pada tahun 2019, Paus Fransiskus menerima surat dari sejumlah aktivis dan organisasi swadaya masyarakat di Timor-Leste tentang maraknya kekerasan seksual di sana. Relawan Asian Justice and Rights Maria Imaculada, sebagaimana dikutip Tempo, adalah salah satu aktivis yang ikut menyurati Paus. Ia mendampingi sekitar 800 korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual yang dilakukan para pastor.
Dalam surat itu, Imaculada mendesak Vatikan agar memberikan sanksi berat bagi para pelaku kekerasan di lingkungan Gereja. Menjelang kedatangan Paus Fransiskus, para pendamping korban membuat surat terbuka yang berisi permintaan agar Vatikan meminta maaf atas perbuatan para pelaku. “Selama ini Gereja cenderung diam dan tutup mata karena menganggap masalah ini hal yang tabu,” kata Imaculada kepada Tempo di Papua Nugini, 10 September 2024.
Seorang pendamping korban di Timor-Leste bercerita, korban kekerasan seksual dan pendamping diintimidasi sekelompok orang tak dikenal beberapa hari sebelum Paus tiba di Papua Nugini. Mereka mendapat berbagai teror hingga ancaman. Imaculada dan seorang aktivis yang menolak disebut namanya mengaku dilarang keluar rumah dan tak boleh menyuarakan isu-isu sensitif, seperti kekerasan seksual, selama kedatangan Paus Fransiskus di Timor-Leste.
Selama tiga hari Paus Fransiskus berada di sana, para korban dan pendamping mereka pun berdiam diri di tempat tinggal masing-masing. Mereka mengalap berkah kedatangan Paus Fransiskus dari rumah sembari berharap Paus akan berbicara tentang kekerasan seksual. Mereka bersorak ketika Paus Fransiskus membahas soal itu di depan presiden. “Kedatangan Paus Fransiskus menjadi kekuatan atau vibrasi,” kata Imaculada. “Setelah ini, kami akan meneruskan perjuangan.”
Dalam penerbangan pulang menuju Roma, seperti dikutip dari Tempo, Paus Fransiskus memastikan Gereja akan terus berpihak kepada para korban kekerasan seksual. Ia berhenti berbicara ketika pesawat yang ia dan rombongan terguncang akibat turbulensi. “Masalah kekerasan seksual telah menyebabkan turbulensi, bahkan di pesawat ini,” katanya ketika pesawat kembali tenang.
Saat tiba di ibu kota Dili pada 9 September, Paus Fransiskus menyerukan kepada pejabat Timor Leste untuk melindungi kaum muda dari pelecehan. “Janganlah kita melupakan banyak anak-anak dan remaja yang martabatnya telah dilanggar,” kata Paus Fransiskus seperti dikutip dari BBC. Ia juga mengajak masyarakat Timor-Leste untuk melakukan “segala upaya yang mungkin dilakukan untuk mencegah segala bentuk pelecehan dan menjamin masa kanak-kanak yang sehat dan damai bagi semua kaum muda”.
“Sebagai tanggapan, kita semua terpanggil untuk melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk mencegah setiap jenis pelecehan dan menjamin masa kecil yang sehat dan damai bagi semua anak muda,” kata Paus seperti dikutip dari VOA Indonesia.
Dalam beberapa kunjungannya ke sejumlah negara, kedatangan Paus beberapa kali disambut sejumlah umat Katolik yang memprotes pelecehan seksual oleh sejumlah imam Katolik. Pada Januari 2018, misalnya, sekelompok umat Katolik menggelar unjuk rasa saat Paus Fransiskus mendatangi ibu kota Santiago di Chile. Mereka, yang sebagian datang dari wilayah yang berjarak ratusan kilometer dari Santiago, memprotes penunjukan Juan Barros sebagai Uskup di Keuskupan Osorno. Sekitar seribu orang menandatangani surat yang ditujukan kepada Paus Fransiskus, dengan permintaan agar penunjukan itu ditinjau kembali. Sekelompok umat itu menuduh Uskup Juan Barros menggunakan posisinya di Gereja Katolik untuk menghalangi penyelidikan atas tindakan Pastor Fernando Karadima, yang tak lain adalah mentornya sendiri. “Paus dan para uskup Chile tidak memikirkan kami dan hal ini benar-benar membuat kami kesal dan melukai jiwa kami,” kata Sylvia Aguilar Maldonado. Tapi, Paus Fransiskus, seperti dikutip dari France24, membela Juan Barros dengan mengatakan, “Itu fitnah,” pada hari terakhirnya di Chile, sembari meminta bukti. Walhasil, Paus Fransiskus mengakhiri hari terakhirnya di Chile dengan kontroversi.
Pada September 2024 di Belgia, Paus Fransiskus juga mendapat desakan dari Raja Philippe dan Perdana Menteri Alexander De Croo agar melakukan tindakan lebih konkret dalam menangani pelecehan seksual yang dilakukan para rohaniwan Katolik Roma. Kedua tokoh tersebut mengangkat masalah ini di hadapan publik dengan bahasa amat lugas untuk ukuran sebuah kunjungan luar negeri Paus, yang biasanya digelar dengan penuh kehati-hatian.
Dalam pidato penyambutannya, Philippe mengatakan kepada Paus Fransiskus bahwa Gereja memakan waktu “terlalu lama” untuk menangani skandal-skandal tersebut. Sementara De Croo mengatakan bahwa “perjalanan masih panjang” dan bahwa “kata-kata saja tidak cukup”.
Lawatan Paus Fransiskus ke Belgia itu sejatinya dimaksudkan untuk merayakan peringatan 600 tahun dua universitas Katolik. Namun, sebuah serial dokumenter televisi dan penyelidikan parlemen telah mengangkat ke permukaan berbagai catatan Gereja tentang pelecehan seksual yang dilakukan para klerus.
“Gereja harus merasa malu, memohon pengampunan, berusaha menyelesaikan situasi ini dengan kerendahan hati Kristiani” dan melakukan segala hal yang mungkin agar “hal ini tidak terjadi lagi,” kata paus pada acara pertama pada hari pertama kunjungannya di Belgia.
Paus Fransiskus juga menggelar pertemuan di Kedutaan Besar Vatikan di Belgia dengan 17 penyintas pelecehan oleh para klerus di negara itu.
“Para peserta dapat menyampaikan cerita dan rasa sakit mereka kepada paus dan mengungkapkan harapan mereka mengenai komitmen Gereja terhadap pelecehan,” kata kantor pers Takhta Suci dalam sebuah pernyataan tertanggal 27 September 2024.
Paus Fransiskus juga berkunjung ke Portugal dalam rangka Hari Kaum Muda Sedunia pada Agustus 2023. Lawatan ini digelar ketika Gereja Katolik di Portugal dikecam karena laporan setebal 500 halaman terbitan bulan Februari 2023 seputar pelecehan seksual yang dilakukan para anggota klerus selama puluhan tahun, dan melibatkan sedikitnya 4.815 anak.
Publikasi laporan tersebut telah menimbulkan kegemparan di Portugal. “Ada kegeraman,” kata António Costa Pinto, seorang profesor ilmu politik di Universitas Lisboa. “Bahkan Presiden, yang berasal dari kelompok kanan-tengah dan beragama Katolik, menunjukkan kegeramannya.”
Sebagai tanda kemarahan yang masih ada atas temuan laporan tersebut, sebuah papan iklan raksasa dipasang di salah satu jalan tersibuk di Lisbon menjelang kunjungan Paus dengan spanduk bertuliskan, “4800+ ANAK-ANAK DILECEHKAN OLEH GEREJA KATOLIK DI PORTUGAL.”
Di sejumlah negara lain, keprihatinan serupa juga mencuat dalam berbagai kunjungan kepausan. Sementara di Indonesia, tak ada satu pun aksi unjuk rasa, meski hanya hitungan menit, yang mengangkat persoalan kekerasan seksual ini ke hadapan Paus asal Argentina itu.
Leave a Reply